5 Kesalahan Saat Menolong Korban Henti Jantung Menurut Dokter

kesehatan27 Views

5 Kesalahan Saat Menolong Korban Henti Jantung Menurut Dokter Setiap detik sangat berharga ketika seseorang mengalami henti jantung mendadak. Dalam situasi panik, siapa pun bisa menjadi penolong pertama sebelum tenaga medis tiba. Namun, menurut para dokter spesialis jantung, banyak orang justru melakukan kesalahan fatal saat berusaha memberikan pertolongan, yang dapat mengurangi peluang korban untuk bertahan hidup.

Fenomena ini sering terjadi di ruang publik seperti kantor, pusat perbelanjaan, atau bahkan di rumah. Karena itu, memahami bagaimana seharusnya bertindak saat seseorang mengalami henti jantung menjadi hal yang krusial. Apalagi, berdasarkan data American Heart Association (AHA), tingkat keberhasilan hidup pasien henti jantung di luar rumah sakit bisa meningkat dua kali lipat jika penolong melakukan tindakan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dengan benar.

“Niat menolong itu luar biasa, tapi niat saja tidak cukup. Kesalahan kecil dalam situasi darurat bisa berarti hilangnya kesempatan hidup seseorang.”

Mengenal Apa Itu Henti Jantung

Henti jantung berbeda dengan serangan jantung. Serangan jantung terjadi karena penyumbatan aliran darah ke jantung, sedangkan henti jantung adalah kondisi ketika jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba akibat gangguan listrik pada otot jantung. Akibatnya, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital lainnya.

Kondisi ini bisa terjadi tanpa tanda-tanda awal. Seseorang yang tampak sehat bisa tiba-tiba jatuh pingsan, tidak merespons, dan tidak bernapas. Dalam hitungan menit, otak mulai mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen.

Dokter spesialis jantung menegaskan, tindakan dalam 4 menit pertama sangat menentukan hidup mati korban. Jika tidak segera ditolong, peluang selamat menurun drastis setiap menit.

Kesalahan 1: Mengira Korban Sekadar Pingsan

Kesalahan paling umum yang dilakukan masyarakat adalah menganggap korban henti jantung hanya pingsan biasa. Akibatnya, penanganan menjadi terlambat.

Henti jantung berbeda dari pingsan karena pada henti jantung, tidak ada denyut nadi dan pernapasan. Sementara pada orang pingsan, jantung masih berdetak dan napas masih ada meski lemah.

Langkah pertama yang benar adalah mengecek kesadaran dan pernapasan korban. Caranya, panggil korban dengan suara keras dan goyangkan bahunya perlahan. Jika tidak merespons, buka jalan napas dan lihat apakah dada korban naik turun dalam 10 detik. Bila tidak ada tanda napas, segera panggil bantuan medis dan mulai CPR.

“Banyak orang membuang waktu berharga karena berpikir korban hanya pingsan. Padahal setiap detik keterlambatan berarti berkurangnya harapan hidup.”

Dokter juga mengingatkan untuk tidak mencoba menyiram air, menepuk wajah, atau meniup telinga korban seperti yang sering terlihat di film atau kejadian sehari-hari. Tindakan tersebut tidak membantu sama sekali, bahkan bisa mengalihkan fokus dari penanganan sebenarnya.

Kesalahan 2: Tidak Segera Memanggil Bantuan Medis

Kepanikan sering membuat penolong berusaha menangani korban sendirian. Padahal, langkah paling penting sebelum melakukan apa pun adalah memastikan bantuan medis segera datang.

Dokter menyarankan agar penolong langsung memanggil ambulans atau tim medis sambil tetap mendampingi korban. Jika ada orang lain di sekitar, bagi tugas: satu orang melakukan CPR, satu orang menelepon bantuan, dan satu lagi mencari alat AED (Automated External Defibrillator) jika tersedia.

AED adalah alat yang bisa memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung normal. Alat ini kini mulai tersedia di tempat umum seperti bandara, stasiun, dan gedung perkantoran.

Kesalahan banyak terjadi karena penolong menunda menelepon, berharap korban akan sadar sendiri. Padahal, henti jantung bukan kondisi yang bisa pulih tanpa tindakan medis profesional.

“Tangan kita bisa menyelamatkan nyawa, tapi tetap butuh ambulans untuk membawa harapan penuh.”

Kesalahan 3: Tekanan Dada yang Salah Saat CPR

Salah satu kesalahan paling sering dilakukan adalah tekanan dada yang tidak efektif. Banyak orang melakukan CPR (resusitasi jantung paru) dengan tekanan yang terlalu pelan, posisi tangan salah, atau ritme yang tidak sesuai.

Menurut pedoman AHA, cara melakukan CPR yang benar adalah sebagai berikut:

  1. Letakkan korban di permukaan datar dan keras.
  2. Posisi penolong berlutut di samping dada korban.
  3. Letakkan telapak tangan di tengah dada, di antara kedua puting.
  4. Tekan sedalam 5–6 cm dengan kecepatan 100–120 kali per menit (ritme seperti lagu “Stayin’ Alive” milik Bee Gees).
  5. Biarkan dada kembali ke posisi semula sebelum menekan lagi.

Dokter menegaskan, tekanan terlalu dangkal tidak akan memompa darah secara efektif, sedangkan tekanan terlalu cepat atau tidak berirama bisa menyebabkan kelelahan dini bagi penolong.

Selain itu, posisi tangan yang salah — misalnya terlalu ke atas atau ke bawah — bisa menyebabkan cedera tulang rusuk tanpa memberikan manfaat pada jantung.

“CPR bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa kuat dan konsisten. Tekanan yang benar bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati.”

Bagi masyarakat awam, penting untuk mengikuti pelatihan CPR dasar yang kini banyak diselenggarakan oleh PMI, rumah sakit, atau komunitas kesehatan. Latihan dengan manekin membantu memahami seberapa keras tekanan yang dibutuhkan agar efektif.

Kesalahan 4: Terlalu Fokus Memberikan Napas Buatan

Dalam banyak kasus, penolong terlalu sibuk mencoba memberi napas buatan (mouth-to-mouth), padahal yang paling utama dalam CPR adalah kompresi dada.

Napas buatan sebenarnya tetap berguna, tetapi hanya jika penolong sudah terlatih dan yakin melakukannya dengan benar. Untuk masyarakat umum yang belum pernah mendapat pelatihan, dokter justru menyarankan hands-only CPR, yaitu melakukan penekanan dada tanpa napas buatan.

Metode ini terbukti efektif menjaga aliran darah ke otak dan jantung korban hingga bantuan medis tiba.

Kesalahan fatal yang sering terjadi adalah penolong berhenti menekan dada terlalu lama karena sibuk memberi napas. Padahal, setiap jeda lebih dari 10 detik bisa menurunkan tekanan darah dan oksigen secara drastis.

Selain itu, pemberian napas yang tidak benar bisa menyebabkan udara masuk ke lambung, memicu muntah, atau justru menghambat aliran udara ke paru.

“Jantung butuh darah, bukan udara dari paru kita. Tindakan terbaik bagi orang awam adalah terus menekan dada tanpa henti.”

Dokter juga menegaskan bahwa rasa jijik atau takut tertular penyakit sering membuat orang enggan memberikan napas buatan. Karena itu, metode hands-only CPR kini menjadi rekomendasi global bagi penolong awam.

Kesalahan 5: Berhenti Terlalu Cepat

Kesalahan terakhir yang paling sering dilakukan adalah berhenti terlalu cepat karena merasa lelah atau menyerah sebelum bantuan datang. Banyak penolong berhenti menekan setelah satu atau dua menit, padahal CPR harus dilakukan terus-menerus hingga tenaga medis tiba atau korban menunjukkan tanda-tanda hidup.

Dalam kondisi darurat, konsistensi jauh lebih penting daripada kekuatan. Jika ada lebih dari satu penolong, lakukan pergantian setiap dua menit untuk menjaga ritme tetap stabil.

Dokter menjelaskan, tubuh manusia bisa bertahan tanpa napas selama beberapa menit, tetapi otak mulai rusak setelah 4–6 menit tanpa aliran darah. Artinya, setiap detik CPR yang dihentikan berarti memperbesar risiko kematian permanen.

“Rasa lelah bisa digantikan, tapi nyawa tidak. Lebih baik capek beberapa menit daripada menyesal seumur hidup.”

Selain berhenti terlalu cepat, beberapa penolong juga membuat kesalahan dengan menghentikan CPR karena salah mengira korban sudah sadar hanya karena tubuh bergerak sedikit. Gerakan kecil bisa saja refleks otot, bukan tanda jantung sudah berdetak kembali.

CPR hanya boleh dihentikan ketika:

  • Tim medis profesional tiba dan mengambil alih.
  • Korban benar-benar bernapas atau bergerak spontan.
  • Penolong sudah benar-benar kehabisan tenaga dan tidak ada pengganti.

Penanganan yang Tepat Menurut Dokter

Dokter spesialis emergensi menekankan bahwa prinsip utama menolong korban henti jantung adalah cepat, tepat, dan berani. Dalam dunia medis dikenal istilah “Chain of Survival” atau rantai keselamatan, yang terdiri dari lima langkah penting:

  1. Mengenali tanda-tanda henti jantung dan segera meminta bantuan.
  2. Melakukan CPR segera.
  3. Menggunakan AED bila tersedia.
  4. Mendapatkan perawatan medis lanjutan.
  5. Pemulihan di rumah sakit.

Kesuksesan tiap langkah bergantung pada kecepatan tindakan awal masyarakat. Itulah sebabnya pelatihan CPR kini menjadi agenda wajib di banyak negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan, di mana warga biasa sudah terlatih memberikan pertolongan dasar dalam keadaan darurat.

Peran Teknologi dan Kesadaran Publik

Di era digital, informasi tentang CPR dan penanganan henti jantung kini mudah diakses. Banyak aplikasi ponsel yang menyediakan panduan interaktif, bahkan video simulasi langkah-langkah melakukan CPR.

Namun sayangnya, kesadaran masyarakat Indonesia masih rendah. Banyak yang belum tahu perbedaan antara pingsan, serangan jantung, dan henti jantung. Bahkan, masih ada yang percaya mitos seperti “jangan sentuh korban karena bisa berbahaya” atau “beri minyak kayu putih agar sadar”.

Padahal, tindakan sederhana seperti menekan dada dengan ritme yang tepat sudah bisa menyelamatkan nyawa seseorang.

Beberapa rumah sakit besar di Jakarta, seperti RSCM dan RS Harapan Kita, kini mulai mengadakan pelatihan CPR untuk masyarakat umum secara rutin. Pelatihan ini tidak memerlukan latar belakang medis dan bisa diikuti siapa pun.

“Kita tidak pernah tahu kapan seseorang di sekitar kita akan roboh karena henti jantung. Tapi kita bisa memilih untuk siap menolong.”

Cerita Nyata: Detik-Detik Menyelamatkan Nyawa

Salah satu kisah nyata datang dari seorang karyawan kantor di Surabaya yang berhasil menyelamatkan rekan kerjanya berkat pelatihan CPR yang pernah diikuti. Saat korban tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri di ruang rapat, ia langsung melakukan tekanan dada sesuai prosedur sambil memanggil ambulans.

Setelah sekitar tiga menit, korban kembali bernapas dan segera dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa tindakan cepat tersebut menyelamatkan nyawa pasien.

Kisah serupa juga terjadi di Jakarta, di mana seorang pengemudi ojek daring memberikan CPR pada penumpangnya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Meski belum pernah ikut pelatihan resmi, ia mengikuti panduan dari operator darurat lewat telepon.

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan dasar tentang pertolongan pertama bisa dimiliki siapa saja, dan keberanian bertindak adalah kunci utama.

“Ketika jantung seseorang berhenti, waktu berhenti bersamanya. Penolonglah yang memutarnya kembali.”

Mengubah Kepanikan Menjadi Aksi

Henti jantung memang bisa terjadi di mana saja — di rumah, di kantor, di jalan raya, bahkan saat berolahraga. Dalam kondisi panik, kebanyakan orang hanya berteriak minta tolong atau mencoba membangunkan korban. Namun dokter menegaskan, satu-satunya tindakan yang bisa benar-benar memberi peluang hidup adalah CPR yang cepat dan benar.

Pelatihan dasar CPR seharusnya menjadi bagian dari pendidikan umum, sama pentingnya dengan pelajaran lalu lintas atau keselamatan kerja. Negara seperti Singapura bahkan mewajibkan warga baru untuk mengikuti pelatihan pertolongan darurat sebagai bagian dari orientasi masyarakat.

Indonesia mulai menuju arah itu, tetapi masih perlu dorongan besar dari pemerintah dan masyarakat.

Harapan dari Para Dokter

Para dokter berharap semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa menolong korban henti jantung bukanlah hal mustahil. Dengan pelatihan yang benar, siapa pun bisa menjadi penyelamat sebelum ambulans tiba.

Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi harus menjadi pelajaran bersama, bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar setiap orang tahu betapa pentingnya pengetahuan dasar tentang CPR.